Bismillah, Assalamu’alaykum Wr.Wb...
Hai Good Readers balik lagi di blog nadya pekan ini, pekan terakhir sebelum kita beranjak dari tahun gemini ke tahun 2021. Tidak lagi dari nol, tapi kembali bertambah menjadi sebuah angka awal, di mana semuanya akan kembali dimulai. Are You Ready ?
Biidznillah, insyaaAllah ya... ready
tidak ready waktu tidak mengenal
negosiasi, tidak mengerti kompensasi. Ia berjalan sesuai alurnya. Menjemput masa
depan dan meninggalkan banyak hal di belakang. Move on, Move Up. Let’s be a better version of us.
Kemarin kita sudah cukup banyak bincang seputar Perempuan MaasyaaAllah penyabet gelar pertama hampir disetiap kategori yang ada, inspirator yang tak lekang ditelan masa, dialah Panutan kita, Khadijah Al-Kubra. Sepeninggal beliau Rasulullah saw yang ditinggal pula oleh pamannya tercinta dirundung kesedihan tiada kira. Allah langsung menghibur beliau dan mengangkatnya ke langit ke tujuh sampai Sidratul Muntaha. Rasulullah saw pun menduda.
Tiada yang berani menggantikan posisi
Bunda kita Khadijah, sampai akhirnya datanglah Khaulah binti Hakim dan bertanya
apakah beliau ingin menikah lagi ? hingga direkomendasikanlah dua orang
perempuan, satu gadis dan satunya janda. Gadis mulia tersebut adalah ‘Aisyah
binti Abu Bakar, anak dari sahabat Sang Utusan, sedang yang janda adalah Saudah
binti Zam’ah.
Tidak terpikat hanya dengan usia muda, sepeninggal Khadijah Rasulullah saw menikahi Saudah yang ketika itu usianya sudah menginjak 55 tahun, lebih tua lima tahun dari Rasulullah dan hanya terpaut 10 tahun dari Khadijah. Saudah termasuk perempuan yang dalam hatinya terdapat kecenderungan untuk taat. Bersama suaminya yang pertama, Saudah tergolong orang Makkah yang masuk Islam di masa awal.
Saudah dan
suaminya tak luput dari siksa kejam kaumnya yang ketika itu masih belum
meninggalkan kejahiliahan dan tidak menafikkan banyaknya tuhan. Namun dengan
keteguhan iman Saudah dapat menanggungnya hingga turun izin hijrah ke Habasyah,
negeri yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani dan dipimpin oleh Raja yang
Adil, ialah Raja Najasy.
Terkait
pribadi Saudah, beliau adalah putri dari Zam’ah bin Qays bin Abdusy-Syams
Al-Quraisyiyah Al-Amiriyah. Isteri dari Sakran bin Amr bin Abdusy-Syams
radhiallahu ta’ala ‘anhu. Sahabat dari 'Aisyah binti Abu Bakar. Diriwayatkan oleh
sahabatnya, Saudah adalah orang yang sangat bersegera dalam kebaikan dan ibadah,
bersabar dalam cobaan, berusaha yang terbaik agar mendapat keutamaan di sisi
Allah dengan menyenangkan dan meringankan beban Rasulullah saw. Yuk simak
beberapa fakta menarik dari Saudah binti Zam’ah.
Ummul Mu’minin Kedua, Mengurus Rumah Tangga
Rasulullah dan Mengasuh Fatimah Az-Zahra
Sepeninggal Khadijah, Rasulullah menjalani hidup bersama anak-anak perempuannya yang belum menikah, terlebih Fatimah yang masih teramat belia. Saudah sebelumnya mendapat mimpi serupa dengan Khadijah sebagai tanda akan menjadi Umul Mu’minin sehingga beliau memiliki keinginan mulia untuk meringankan beban Rasulullah dan berusaha membantu sebisanya.
Setelah Khaulah
merekomendasikan Saudah yang sudah ditinggal meninggal oleh suaminya, kemudian
Rasulullah menyambut rekomendasi tersebut dengan mendatangi Bapak Saudah. Zam’ah
yang mengetahui dan mengakui tingginya akhlak Rasulullah saw meski Ia belum
menganut Islam menyetujui pinangan Rasulullah. Empat ratus dirham diserahkan
sebagai mahar Saudah, akhirnya terikrarlah akad dan Saudah resmi menyandang
gelar Ummul Mu’minin kedua.
Gais, terkait mahar, sebaik-baik perempuan adalah yang memudahkan maharnya. Inget ya... memudahkan. Mudah tidak berarti murah. Di sini bukan berarti saya menyarankan agar kita minta mahar tinggi. Bukan begitu maksudnya. Namun, mahar itu adalah pemberian seorang suami terhadap isterinya yang akan menjadi hak dari isteri. Biasanya itu akan menjadi tabungan atau bebas digunakan si isteri selama masih dalam ketentuan dan hukum Allah yang berlaku (tidak dibuat foya-foya, atau nge-hedon) misal, kita tidak tahu sampai dimana usia pasangan.
Di saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka
mahar itulah yang akan menjadi penopang atau modal bagi si perempuan. Ini pahitnya
tapi ya realistis bebas mau diapakan. Yang penting untuk keperluan si isteri. Namun
ketika rumah tangga sedang diterpa badai finansial lalu dengan kerelaan isteri
ia ridho memfungsikan mahar tersebut sebagai harta bersama, maka itu adalah
kebaikan sang isteri. Tetap dengan kondisi jika dan hanya jika isteri
menyetujui. Laki-laki atau si suami tidak boleh maksa atau minta dikembalikan.
Tapi,
sebaik-baik laki-laki adalah yang bisa meninggikan maharnya. Tentu sesuai
dengan kesanggupannya. Menikah bukan berarti menjadi beban atau menyulitkan,
tapi menikah adalah ibadah seumur hidup yang dimana selayaknya ibadah, dia “mastatho’tu” atau semampunya, sekuatnya
saja. Jangan membandingkan kesanggupan pribadi dengan orang lain ya. Kalau kata
Ustadz Salim A. Fillah, yang sekufu. Sefrekuensi, ibaratnya cocok. nyambung
gitu. Nerima. Kalau ngga terima, gausah dipaksa. Cari yang bisa terima saja. Kamu
lebih tahu lah. Yakan ? sip!
Kalau Rasulullah saw, meski banyak yang bilang Rasulullah saw itu tidak banyak hartanya, ets tapi jangan salah kaprah. Tahu berapa rerata mahar yang diberikan Rasulullah kepada isteri-isteri beliau ? Murah ? nih coba ya hitung sendiri.
Kepada
Khadijah Rasulullah memberikan 20 ekor unta merah. Satu untanya kalau
dikonversi rupiah menurut tempo.co tahun 2018 bisa mencapai SAR 300 atau
senilai 1 Miliar 😂 sok mangga dikali 20... kepada isteri-isteri
setelahnya biasanya 400 dirham layaknya Saudah atau dengan pembebasan dirinya
dari tawanan. Yap itu kalau Rasulullah saw. balik ke atas, mastatho’tu loh ya. Semoga Allah lancarkan rezeki pembaca sekalian,
Allahumma aamiin. Lanjut~
Setelah
menikah, Saudah banyak membantu mengurus rumah tangga Rasulullah saw, mengurus
anak-anak rasulullah, menghibur lara Rasulullah sepulang berdakwah yang
didustakan sana-sini, dicaci sampai disakiti. Saudah juga mengurus Fatimah
Azzahra yang kala itu masih sangat belia. Mengisi kebutuhan kasih sayang
seorang ibu. Menyayangi Fatimah dan anak-anak Rasulullah seperti anaknya
sendiri.
Teman Hijrah Ruqoyyah binti Rasulullah dan
Suaminya, Utsman bin Affan
Sebelum
menikah dengan Rasulullah, Saudah dan Sakran tidak tahan lagi dengan siksa
kaumnya hanya karena mereka berucap Tuhannya adalah Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Mereka menerima izin Rasulullah saw untuk hijrah ke negeri Habasyah
atau Etiopia. Eh, Etiopia ? iya betul. Ngga salah baca ko. Habasyah itu
Etiopia, salah satu negara di Afrika Timur. Dulu pemimpinnya orang yang Adil. Rasulullah
mengizinkan muslimin hijrah ke sana karena tahu bahwa Najasy meski beragama
Nasrani, namun tidak dzhalim dan melindungi siapapun masyarakat sipil meski
dari luar negeri.
Salah satu imigran yang turut serta hijrah adalah Saudah bersama suaminya. Di rombongan tersebut juga termasuk anak Rasulullah saw, yaitu Ruqoyyah dan suami, Utsman bin Affan. Setelah menikah dengan Rasulullah, Saudah acapkali mengobati kerinduan Rasulullah terhadap Ruqoyyah dengan menceritakan kisah perjalanannya di Habasyah, kondisi muslimin di sana dan tentunya keadaan Ruqoyyah. Rasulullah sering tersenyum dan terhibur setelah mendengar penuturan Saudah.
Setelah hijrah
ke Habasyah, Saudah juga ikut hijrah yang kedua, yaitu ke Madinah Al-Munawwarah
bersama keluarga atau ahlul bait Rasulullah,
yaitu Fatimah, Ummu Kultsum, Ummu Aiman dan Usamah bin Zaid yang dipimpin oleh
Zaid dan Abu Rafi’.
Bermain Coret Tepung Bersama ‘Aisyah
Diceritakan
oleh ‘Aisyah sahabat Saudah, pernah suatu hari, ‘Aisyah membawakan makanan khas
masyarakat Arab yang biasa disebut Khazirah
(makanan yang terbuat dari irisan kecil-kecil daging dan dicampur tepung
serta gandum) kepada Saudah. Ketika itu ada Rasulullah diantara mereka. ‘Aisyah
bermaksud membagi dan meminta Saudah yang jago masak untuk mencicipi masakan ‘Aisyah,
sekalian memberi masukan hasil “mahakarya” ‘Aisyah. Namun ternyata Saudah
menolak. Agak kesal, akhirnya ‘Aisyah memaksa dengan nada sedikit “mengancam”. Tuturnya
“Makanlah atau aku oleskan makanan ini ke wajahmu”. Tidak bergeming, masih
menggeleng, Saudah tidak mau. Akhirnya ‘Aisyah mencoretkan adonan tersebut
dengan tangannya setelah diletakkan di atas Khazirah
ke wajah Saudah.
Rasulullah
tertawa melihat perilaku ‘Aisyah, lalu mengambil tangan Saudah dan diletakkan
pula tangan Saudah di atas Khazirah milik
‘Aisyah. Setelah Nabi mengatakan “Olesilah wajahnya (‘Aisyah), tangan saudahpun
mencoret balik wajah ‘Aisyah. Lalu mereka tertawa bersama dengan kejadian
tersebut. Haha, MaasyaaAllah... nabi tetap adil cuy meski saat bercanda.
Tidak
lama terdengar suara Umar Al-Khaththab di depan pintu, sontak Saudah dan ‘Aisyah
kaget, takut dengan kehadiran Umar, lalu cepat-cepat membersihkan TKP yang
terserak adonan dan bersembunyi di balik tirai. Setelah diperkenankan masuk
Umar bertanya pada Rasulullah yang masih sedikit terkekeh dan menyisakan
sunggingan senyum di wajah beliau. Rasulullah menceritakan singkat yang intinya
Saudah dan ‘Aisyah terburu-buru ngumpet karena takut dengan Umar.
Umar marah karena bisa-bisanya mereka lebih takut kepada Umar daripada Rasulullah yang jelas-jelas kekasih Allah dan suaminya yang harusnya lebih dihormati. Dari balik tirai ‘Aisyah menyeletuk “Rasulullah itu lembut, sedang engkau wahai Umar berperangai keras”. Lagi, Rasulullah tersenyum dengan komentar ‘Aisyah dan Umar terdiam.
See, Rasulullah memberikan
kebebasan berpendapat perempuan, meski dihadapan sahabatnya sendiri yang
amalannya luar biasa. Sangat toleran untuk perkara yang memang diperbolehkan
dan wajar, asal tidak berlebihan. Jadi bercanda itu boleh, asal bercandanya
juga tidak sembarangan atau justru jadi berbohong ya gais. Jujur saat bercanda
juga bisa bikin ketawa, bisa lucu ko. Kita belajar bercanda dari trik-trik yang
dilakukan Rasulullah kuy.
Memberikan Jatah Hari kepada ‘Aisyah
Jadi,
ketika direkomendasikan dua orang perempuan antara gadis dan janda, Rasulullah
menerima keduanya dengan maksud tidak menghinakan pilihan Khaulah binti Hakim,
sekaligus ‘Aisyah memang telah diberitahukan Jibril melalui mimpi Rasulullah
selama tiga hari tiga malam bahwa ‘Aisyah adalah isterinya di dunia dan di
surga (Masyaa Allah) dan Allah
menakdirkan Rasulullah menikah dengan keduanya, meski tidak langsung tinggal
bersama. Pertama Rasulullah menikah dulu dengan Saudah. Setelah tiga tahun dan
sudah hijrah ke Madinah barulah Rasulullah tinggal bersama ‘Aisyah.
Saat
usia Saudah semakin bertambah dan Rasulullah sudah tinggal bersama beberapa
isterinya, termasuk ‘Aisyah ketika itu, maka Saudah merasa khawatir bahwa
Rasulullah merasa tidak lagi senang terhadap dirinya atau dirinya takut dicerai
Rasulullah saw. Meski itu adalah pendapat dan perasaan Saudah sendiri. Sehingga
Saudah memberikan jatah hari yang Rasulullah gilirkan antara isteri-isterinya
kepada ‘Aisyah. Terkait permintaan hati Saudah, Rasulullah saw menerimanya dan
Allah menurunkan firman terkait permintaan Saudah.
“Dan
jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh,
maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya itu kikir. Dan jika
kamu memperbaiki (pergaulan dengan isterimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap acuh-tak acuh), maka sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang
kamu kerjakan” (QS. Annisa (4): 128)
Wah permintaan Saudah di Acc Allah langsung, sekaligus Allah menasihati Rasulullah saw atas kekhawatiran Saudah secara khusus dan firman ini berlaku loh untuk muslimin seluruhnya sampai akhir zaman. Tabarakallah, semoga Allah merahmati Saudah binti Zam’ah.
Meski
kita tahu dengan sifat kasih sayang dan kelembutan Rasulullah saw beliau tidak
akan seperti yang dikhawatirkan Saudah, namun dengan baiknya Rasulullah
mengiyakan permintaan Saudah sehingga tenang hatinya. Saudah tahu bahwa ‘Aisyah
dan bapaknya memiliki tempat tersendiri yang spesial di hati Nabi. Sehingga Saudah
mencintai apa yang Nabi cintai. Saudah ingin menjadi orang yang spesial juga di
hati Nabi dengan mencintai apa yang Nabi cintai. Saudah mencintai ‘Aisyah
karena Nabi mencintainya. Saudah dekat dengan ‘Aisyah karena keutamaannya di
sisi Allah dan Rasul-Nya.
Teman-temanku yang baik hatinya, sampai di sini kita tidak boleh berburuk sangka ya sama Rasulullah saw dengan menyalahartikan poligini yang beliau lakukan. Jangan terhasut dengan pandangan buruk orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sekali lagi kita kembali pada hukum Allah, di mana Allah memperbolehkan laki-laki untuk beristeri dua, tiga atau empat. Asalkan mereka (para laki-laki sudah khatam atau tidak terkendala dengan urusan nafkah keduanya, ketiganya, atau keempatnya. Urusan belanja, kebutuhan primer, sekunder, tersier, tabungan anak dan dana darurat bukan lagi masalah.
Ingat ya, ini pakem. Namun terkhusus
Rasulullah yang menikah dengan izin Allah atau dengan Wahyu Allah maka itu
perkara lain. Tapi tetap, Allah menegaskan bahwa meski boleh memiliki isteri
sampai dengan empat, hati tidak akan pernah bisa adil. Jadi kalau kamu tidak
akan sanggup berlaku adil minimal dalam nafkah, jatah hari terlebih hati, maka
ya tidak usah.
Poligini yang diajarkan dalam islam bukan ditujukan untuk kesenangan pribadi atau pemuas diri, namun lebih mulia dan suci, ia untuk mengangkat derajat janda yang ditinggal mati suaminya atau untuk menaungi anak seorang janda yang telah yatim dan butuh seseorang yang menjadi wali bagi anaknya atau suami bagi dirinya. Jadi tidak semudah yang dikira atau tidak seburuk yang diprasangka. Bisa juga sebagai jalan keluar bagi seseorang yang ingin melindungi dirinya dari maksiat dan memiliki kecenderungan pada perempuan lain.
Tapi sekali lagi ingat, harus ada
landasan Allah di dalamnya dan mampu. Kalau tidak, ya untuk apa. Daripada mendzhalimi
orang lain atau justru akan menjadi beban diri sendiri ? hayo ingat, tidak
semudah yang kamu kira, pun tidak seburuk yang diprasangka. ini hukum awalnya
saja. Urusan mau tidak mau itu perkara hati dan ego pribadi. Kalau itu karena
Allah, maka pahalanya dari Allah. Tabarakallah.
Ditegur oleh Umar bin Khaththab
Masuk
pada sosok tegas, frontal dan paling vokal urusan hukum Allah, yaitu satu dari empat
Khulafaur-Rasyidin, Umar bin Khaththab yang pernah menegur Ummul Mu’minin kita
Saudah binti Zam’ah. Yang diketahui Umar pernah dua kali menegur Saudah. Pertama
saat bersama ‘Aisyah saat bermain coret tepung yang sebelumnya sudah
disampaikan dan kedua saat Saudah sedang keluar pada malam hari untuk suatu
urusan lalu bertemu dengan Umar yang mengenali bahwa itu adalah Saudah, lalu Umar
menegurnya. Akan tetapi Rasulullah membela Saudah yang memang tahu bahwa ada
keperluan penting dan keperluan Saudah tidak bertentangan dengan Allah dan
Rasul-Nya. Sehingga sabda yang terucap adalah “Allah mengizinkan kalian keluar untuk keperluan-keperluan kalian”
(Mutafaq ‘alaih. HR. Bukhari 5237, kitab: Nikah. HR Muslim 2170, kitab: Salam).
Jadi kali kedua Umar menegur Saudah adalah dengan maksud mengingatkan dirinya bahwa beliau adalah Ummul Mu’minin dan tidak patut bagi beliau keluar pada malam hari yang selain dapat membahayakan dirinya dari keburukan orang-orang yang bermaksud tidak baik dapat juga menjadi fitnah baginya. Akan tetapi memang Saudah ketika itu tiada maksud selain menunaikan keperluannya dan dibenarkan Rasulullah serta turun izin dari Allah melalui lisan Rasulullah saw.
Mengabdikan Diri pada Allah dan Menjaga
Diri Sepeninggal Rasulullah saw
Tatkala
Rasulullah menghembuskan napas terakhir, Saudah diselimuti duka mendalam. Tidak
terbayang bahwa kekasih yang dicinta kembali pada Kekasihnya. Namun Muhammad
saw adalah manusia biasa. “Dan Muhammad
adalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia
wafat atau dibunuh, kamu berbalik kebelakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke
belakang, maka dia tidak akan merugikan Allah sedikitpun. Allah akan memberi
balasan kepada orang yang bersyukur” (QS. Ali Imran (3): 144). Saudah sangat
paham dengan ayat ini. Sehingga Saudah merelakan kepergian kekasih hati. Saudah
tetap rajin beribadah kepada Allah. Hingga di akhir masa kepemimpinan Umar
Al-Khaththab Saudah menyusul Rasulullah untuk menghadap Rabbnya. Semoga Allah
merahmati Saudah binti Zam’ah.
MaasyaaAllah
banget ngga nih cerita Bunda kita, Ummi kita, yap, Umminya orang-orang yang
beriman sama Allah. Banyak kebaikan dan keutamaan pada diri beliau yang dapat
kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita bisa lebih istiqomah dan
memperbaiki diri dengan insight-insight dari
orang-orang solih sekaligus perempuan inspiratif. Cinta sejati dapat kita lihat
dari cerita ini maupun sebelumnya. Terlihat jelas benang merah yang pada
akhirnya menggambarkan arti cinta itu sendiri. Berkorban untuk orang yang
dicintai, tidak banyak janji namun memberikan bukti dengan perilaku maupun
tindakan. Mencintai yang dicintai cintai dan menjaga diri sampai nanti waktunya
bertemu tiba lagi. Tabarakallah.
Sekian kisah inspiratif dari Ummi kita kali ini, semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa dipetik. Kesempurnaan milik Allah semata, shalawat dan salam selalu kita kirimkan pada teladan kita, Muhammad Rasulullah saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. kekurangan atau kekhilafan dalam penyampaian murni kesalahan saya. Semoga dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, sekaligus agar saya semakin bisa belajar kedepannya. Kritik dan saran sangat bermanfaat pastinya. Silahkan tulis di kolom komentar untuk perbaikan kedepan. InsyaaAllah akan dibaca dan ditanggapi. Terima kasih sudah membaca sampai akhir.
Wassalamu'alaykum wr.wb
See ya next week insyaaAllah.
Komentar
Posting Komentar