Mentoring Bukan Segalanya, Tapi Segalanya Berawal dari Mentoring

 Assalamu’alaykum... Hai Good Readers!

Yap akhirnya nulis lagi. Setelah sekian ribu purnama. Haha.

Bismillah semoga bisa memberikan insight dan manfaat ya.

Pengen banget merutinkan tulisan. Tapi kita lihat, semoga bisa istiqomah insyaAllah.

Okay, Let's Drop the Beat~





Seorang kakak cantik mengenakan kerudung dan baju kuning beserta rok cokelat-moka khas seragam Jumat, nampak aura keshalihan dari sosoknya. Hanya duduk bersila dengan mushafnya di tengah masjid yang belum lama dikokohkan ini. Ath-Thalabah, itulah nama satu-satunya masjid tingkat tiga yang ada di SMAN. 13.

Saya yang ketika itu berdiri di lantai tiga masjid mau shalat dzuhur, tertegun, terkagum.


“Bacaannya bagus, kalau dia baca Quran di rumah pasti rumahnya adem deh. Orang tuanya juga pasti seneng. Bangga juga ya kalau di rumah bisa kaya gini. Anggun, pegang Quran. Dekat sama Allah. Jadi anak Solihah” gumam dalam hati. Singkat, sebersit saja. Saya abaikan cemarut pikiran tersebut dan sholat dzuhur.


Di sekolah ini, setiap hari Jumat pagi terdapat kegiatan membaca Al-Qur’an bersama untuk semua murid dan guru. Kami berkumpul di lapangan bagian dalam, di bawah kanopi. Biasanya yang memimpin baca Al-Quran adalah ketua atau anggota SRI (Sie Rohani Islam) yang laki-laki. Selain baca Al-Quran, khusus untuk siswi-siswi kelas X terdapat Kegiatan Keputrian yang bentuknya berupa mentoring atau sekarang lebih dikenal dengan istilah coaching. Coaching dilaksanakan di waktu siswa muslim melaksanakan shalat Jumat.


Satu kelas dipegang oleh dua orang, yaitu Mentor dan asistennya. Biasanya kami membahas seputar Sejarah peradaban, Isu-isu Keislaman, Pergaulan, atau Budaya kekinian. Setiap waktu mentoring datang, banyak kakak-kakak mentor seliweran di lorong sarang kelas X. Berkerudung panjang, terpancar keceriaan dengan senyuman mengembang seraya berkata “Assalamu’alaykum dek, masuk yuk kita mentoring”.


Saat mentoring, kami bebas bertanya, curhat atau berpendapat. Pertanyaan nyeleneh sampai tidak pernah terbayang pun dijawab. Saya secara pribadi yang ketika itu sangat berpikiran idealis, mulai tergugah untuk berdiskusi. Menanyakan hal satu dan lainnya. Mulai dari ketidaksesuaian dan ketidakadlian dalam pergaulan hingga kenegaraan Saya tanyakan. Hingga akhirnya pernah Saya dicap memiliki pemikiran “berbahaya”. Hahaha. Namun Saya kagum dengan kakak-kakak ini. Pemikiran dan pertanyaan Saya tidak pernah diabaikan dan Saya tidak dikucilkan, justru diladeni dan diarahkan pada Seorang kakak luar biasa yang akhirnya dapat mengarahkan pemikiran Saya dan diluruskan dengan cara yang sangat bijak.


Karena di waktu itu saya cenderung suka berdebat. Sedikit saja salah penanganan dan menurut Saya tidak sesuai dengan pendapat Saya, pasti akan saya debat. Akan saya “beredel”. Hehehe. Ekstrem ya ? tapi memang seperti itu dulu.


Saya yang waktu itu di luar jam sekolah lebih memilih memakai celana jeans, kaos dan kerudung tipis bahkan tidak panjang disuguhi penampilan kakak-kakak yang mereka sangat nyaman menggunakan rok, baju dan kerudung panjang. Kadang dress one piece. Pernah terceletuk “Kak, bajunya panjang banget, ngga keserimpet?” Kak kerudungnya kok dobel ngga panas ? hingga akhirnya Saya terbiasa dengan pemandangan itu dan mulai penasaran.


Kelas XI saya mulai coba-coba pakai rok kalau keluar rumah. Mulai pakai kerudung yang sedikit dipanjangkan dari sebelumnya. Kadang yang tipis didobel juga. boom! Ternyata ngga seperti yang ditakutkan selama ini. Pakai rok tapi ngga keserimpet kok. Kerudung panjang masih bisa kena semilir angin, ga gerah kalo ngga digerah-gerahin sendiri. Justru, saya lebih nyaman. Bentuk kaki tidak nyeplak langsung. Baju yang longgar melindungi badan dari lekuk-lekuknya yang kadang bikin risih sendiri. Kerudung juga menutup kepala dari sengat matahari atau tajam sorot mata lelaki.


Ternyata benar, bisa karena biasa. Sayapun terbiasa dengan penampilan yang sekarang. Diluar berbusana, saya banyak belajar tentang Agama. Saya belajar lagi tentang Al-Qur’an.


Setiap mentoring, kami memulai dengan membaca beberapa Ayat Al-Qur’an secara bergantian. Tampaklah siapa yang pandai membaca Al-Qur’an dan siapa yang masih terbata berjuang. Setiap sabtu kala itu difasilitasi Program “Pengajian Sabtu” (PS) dan "Bina Baca Qur’an" (BBQ) untuk belajar agama dan mengaji. Di tangan mentor yang tepat saya banyak belajar tentang pemikiran, tentang keseharian, adab, sampai Al-Qur’an (Kitab).


Mentoring butuh komitmen dan kesabaran. Mentornya tidak dibayar sedikitpun dan kitapun sebagai Mentee harus sabar. Prosesnya tidak mudah dan tidak sebentar. Semua tinggal pilihan. Mau serius dan melanjutkan atau berhenti dan keluar. Tidak mengikat dan tidak memaksa. Hanya saja, tidak ada Ilmu yang sia-sia. Tidak akan ada perjuangan yang tak memberikan hasil, sekalipun kecil.


Dari mentoring, saya ditanamkan kecintaan kepada Al-Qur’an dan Penciptanya secara lebih dalam. Saya mengerti hal yang sebelumnya sangat enggan untuk saya pahami. Rugi. Awalnya demikian Saya pikir. “ngapain maafin orang yang salah”. “Nyinggung dikit saja Saya babat, apalagi salah besar”. Sering saya merengut dan wajah jadi cemberut. Berpikir “kok mereka kaya gitu?”


Sampai akhirnya Saya bisa melihat Indahnya Islam dan mulianya agama ini. Hanya orangnya saja yang mengotori kemuliaan Islam. Seperti buruknya kepribadian saya ketika itu yang sejatinya sudah menjadi seorang muslimah sejak lahir. Banyak memandang buruk orang padahal yang memandang juga lebih buruk. Ibarat memakai kacamata kotor, tentu objek yang dilihat jadi kotor. Bagai semut diseberang nampak, gajah dipelupuk mata tidak.


Pelan-pelan Saya memperbaiki sikap, Saya mulai suka membuka Al-Quran. Hingga akhirnya Al-Qur’an menuntun saya untuk duduk bersama pecinta Al-Quran lainnya di Islamic Book Fair tahun 2017 atau 2018 bersama Ustadz Adi Hidayat. Sungguh sangat bergetar hati saya, pecah tangis haru dan senang kala dipersaudarakan dengan Al-Qur’an. “Persaksikanlah bahwa kami adalah Pecinta Al-Qur’an” kata-kata yang sampai saat ini terngiang jelas di telinga Saya.


Ketika kita mencintai Al-Qur’an, maka Ia akan menuntun kita menemukan jalan yang beririsan dengan kebaikan bersama Al-Qur’an. Sampai akhirnya dengan perantara Mentor, Saya bisa mengetahui informasi tentang Karantina Intensif Al-Qur’an yang bernama "Yayasan Karantina Tahfidz Al-Qur’an" (YKTN). Untuk sampai disini sungguh adalah perjalanan yang tidak singkat dan proses panjang.


Di SMA, saya tergolong siswi yang bacaan Al-Qur’annya biasa saja. Cenderung tempo lambat dan masih buta tajwid. Namun perlahan saya sering mendengar bacaan Al-Qur’an Mentor Saya, direferensikan Qari’ Nasional dan Internasional hingga akhirnya Saya tergugah untuk belajar Tahsin (Memperbaiki Bacaan Al-Qur’an). Alhamdulillah, meski terlambat, pertama masuk baru di akhir tahun 2019 dari Level 1, naik ke Level 2 sampai sekarang Level Tahfidz. Alhamdulillah.


Saya juga dengan izin Allah bisa merasakan pengalaman berharga kurang lebih 12 jam setiap harinya bersama Al-Qur’an selama 36 hari di Yayasan Karantina Tahfidz Al-Qur’an (Next kita cerita tentang ini yaa!). Alhamdulillah untuk setiap nikmat yang saya rasakan ini. Perlahan, Allah melembutkan hati yang sangat keras. Perlahan, Allah menunjukkan banyak sisi baik yang selama ini saya buta terhadapnya.


Kalau Saya tidak mentoring, tentu akan berbeda cerita. Mungkin saat ini saya akan menjadi orang yang tidak berguna atau mungkin jadi seorang penentang yang sangat keras dan kejam. Na’udzubillah dan tidak usah dibayangkan lah ya. Tidak melebih-lebihkan tapi inilah pengalaman Saya. Percaya atau tidak, terserah pada pembaca sekalian, karena Saya tidak akan memaksa.


Namun, jika ingin membuktikan sendiri tentu sangat Saya anjurkan. Saya ingin berbagi kenikmatan dengan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita pahami bahkan tidak terjamah sama sekali. Dikelilingi teman-teman yang sangat peduli bahkan di atas dirinya sendiri. Maasyaa Allah, Alhamdulillah. Semua berawal dari mentoring. Memang, mentoring bukan segalanya tapi segalanya berawal dari mentoring. Tidak percaya ? Gapapa. Buktikan Saja. 😊

Salam,

Nadya




Komentar