Assalamu’alaykum... Hai Good Readers!
Yap akhirnya nulis lagi. Setelah sekian ribu purnama. Haha.
Bismillah semoga bisa memberikan insight dan manfaat ya.
Saya yang ketika itu berdiri di lantai tiga masjid mau shalat dzuhur, tertegun, terkagum.
“Bacaannya
bagus, kalau dia baca Quran di rumah pasti rumahnya adem deh. Orang tuanya juga
pasti seneng. Bangga juga ya kalau di rumah bisa kaya gini. Anggun, pegang
Quran. Dekat sama Allah. Jadi anak Solihah” gumam dalam hati. Singkat, sebersit
saja. Saya abaikan cemarut
pikiran tersebut dan sholat dzuhur.
Di
sekolah ini, setiap hari Jumat pagi terdapat kegiatan membaca Al-Qur’an
bersama untuk semua murid dan guru. Kami berkumpul di lapangan bagian
dalam, di bawah kanopi. Biasanya yang memimpin baca Al-Quran adalah ketua
atau anggota SRI (Sie Rohani Islam) yang laki-laki. Selain baca Al-Quran,
khusus untuk siswi-siswi kelas X terdapat Kegiatan Keputrian yang bentuknya
berupa mentoring atau sekarang lebih dikenal dengan istilah coaching. Coaching dilaksanakan di waktu siswa muslim melaksanakan shalat
Jumat.
Satu
kelas dipegang oleh dua orang, yaitu Mentor
dan asistennya. Biasanya kami membahas seputar Sejarah peradaban, Isu-isu
Keislaman, Pergaulan, atau Budaya kekinian. Setiap waktu mentoring datang,
banyak kakak-kakak mentor seliweran di lorong sarang kelas X. Berkerudung panjang,
terpancar keceriaan dengan senyuman mengembang seraya berkata “Assalamu’alaykum
dek, masuk yuk kita mentoring”.
Saat
mentoring, kami bebas bertanya, curhat atau berpendapat. Pertanyaan nyeleneh
sampai tidak pernah terbayang pun dijawab. Saya secara pribadi yang ketika itu
sangat berpikiran idealis, mulai tergugah untuk berdiskusi. Menanyakan
hal satu dan lainnya. Mulai dari ketidaksesuaian dan ketidakadlian dalam
pergaulan hingga kenegaraan Saya tanyakan. Hingga akhirnya pernah Saya dicap
memiliki pemikiran “berbahaya”. Hahaha. Namun Saya kagum dengan kakak-kakak
ini. Pemikiran dan pertanyaan Saya tidak pernah diabaikan dan Saya tidak
dikucilkan, justru diladeni dan diarahkan pada Seorang kakak luar biasa yang akhirnya
dapat mengarahkan pemikiran Saya dan diluruskan dengan cara yang sangat bijak.
Karena
di waktu itu saya cenderung suka berdebat. Sedikit saja salah penanganan dan
menurut Saya tidak sesuai dengan pendapat Saya, pasti akan saya debat. Akan saya
“beredel”. Hehehe. Ekstrem ya ? tapi memang seperti itu dulu.
Saya
yang waktu itu di luar jam sekolah lebih memilih memakai celana jeans, kaos dan
kerudung tipis bahkan tidak panjang disuguhi penampilan kakak-kakak yang mereka
sangat nyaman menggunakan rok, baju dan kerudung panjang. Kadang dress one piece. Pernah terceletuk “Kak,
bajunya panjang banget, ngga keserimpet?” Kak kerudungnya kok dobel ngga panas
? hingga akhirnya Saya terbiasa dengan pemandangan itu dan mulai penasaran.
Kelas
XI saya mulai coba-coba pakai rok kalau keluar rumah. Mulai pakai kerudung yang
sedikit dipanjangkan dari sebelumnya. Kadang yang tipis didobel juga. boom! Ternyata ngga seperti yang
ditakutkan selama ini. Pakai rok tapi ngga keserimpet kok. Kerudung panjang
masih bisa kena semilir angin, ga gerah kalo ngga digerah-gerahin sendiri. Justru,
saya lebih nyaman. Bentuk kaki tidak nyeplak langsung. Baju yang longgar
melindungi badan dari lekuk-lekuknya yang kadang bikin risih sendiri. Kerudung juga
menutup kepala dari sengat matahari atau tajam sorot mata lelaki.
Ternyata
benar, bisa karena biasa. Sayapun terbiasa dengan penampilan yang sekarang. Diluar
berbusana, saya banyak belajar tentang Agama. Saya belajar lagi tentang Al-Qur’an.
Setiap
mentoring, kami memulai dengan membaca beberapa Ayat Al-Qur’an secara bergantian.
Tampaklah siapa yang pandai membaca Al-Qur’an dan siapa yang masih terbata berjuang.
Setiap sabtu kala itu difasilitasi Program “Pengajian Sabtu” (PS) dan "Bina
Baca Qur’an" (BBQ) untuk belajar agama dan mengaji. Di tangan mentor yang tepat saya
banyak belajar tentang pemikiran, tentang keseharian, adab, sampai Al-Qur’an (Kitab).
Mentoring
butuh komitmen dan kesabaran. Mentornya tidak dibayar sedikitpun dan kitapun
sebagai Mentee harus sabar. Prosesnya
tidak mudah dan tidak sebentar. Semua tinggal pilihan. Mau serius dan
melanjutkan atau berhenti dan keluar. Tidak mengikat dan tidak memaksa. Hanya saja,
tidak ada Ilmu yang sia-sia. Tidak akan ada perjuangan yang tak memberikan
hasil, sekalipun kecil.
Dari
mentoring, saya ditanamkan kecintaan kepada Al-Qur’an dan Penciptanya secara
lebih dalam. Saya mengerti hal yang sebelumnya sangat enggan untuk saya pahami.
Rugi. Awalnya demikian Saya pikir. “ngapain maafin orang yang salah”. “Nyinggung
dikit saja Saya babat, apalagi salah besar”. Sering saya merengut dan wajah
jadi cemberut. Berpikir “kok mereka kaya gitu?”
Sampai
akhirnya Saya bisa melihat Indahnya Islam dan mulianya agama ini. Hanya orangnya
saja yang mengotori kemuliaan Islam. Seperti buruknya kepribadian saya ketika
itu yang sejatinya sudah menjadi seorang muslimah sejak lahir. Banyak memandang
buruk orang padahal yang memandang juga lebih buruk. Ibarat memakai kacamata
kotor, tentu objek yang dilihat jadi kotor. Bagai semut diseberang nampak, gajah dipelupuk mata tidak.
Pelan-pelan
Saya memperbaiki sikap, Saya mulai suka membuka Al-Quran. Hingga akhirnya
Al-Qur’an menuntun saya untuk duduk bersama pecinta Al-Quran lainnya di Islamic Book Fair tahun 2017 atau 2018
bersama Ustadz Adi Hidayat. Sungguh sangat bergetar hati saya, pecah tangis
haru dan senang kala dipersaudarakan dengan Al-Qur’an. “Persaksikanlah bahwa
kami adalah Pecinta Al-Qur’an” kata-kata yang sampai saat ini terngiang jelas
di telinga Saya.
Ketika
kita mencintai Al-Qur’an, maka Ia akan menuntun kita menemukan jalan yang
beririsan dengan kebaikan bersama Al-Qur’an. Sampai akhirnya dengan perantara
Mentor, Saya bisa mengetahui informasi tentang Karantina Intensif Al-Qur’an
yang bernama "Yayasan Karantina Tahfidz Al-Qur’an" (YKTN). Untuk sampai disini
sungguh adalah perjalanan yang tidak singkat dan proses panjang.
Di SMA,
saya tergolong siswi yang bacaan Al-Qur’annya biasa saja. Cenderung tempo
lambat dan masih buta tajwid. Namun perlahan saya sering mendengar bacaan
Al-Qur’an Mentor Saya, direferensikan Qari’ Nasional dan Internasional hingga
akhirnya Saya tergugah untuk belajar Tahsin (Memperbaiki Bacaan Al-Qur’an).
Alhamdulillah, meski terlambat, pertama masuk baru di akhir tahun 2019 dari Level 1, naik ke Level 2 sampai sekarang Level Tahfidz. Alhamdulillah.
Saya
juga dengan izin Allah bisa merasakan pengalaman berharga kurang lebih 12 jam setiap
harinya bersama Al-Qur’an selama 36 hari di Yayasan Karantina Tahfidz Al-Qur’an
(Next kita cerita tentang ini yaa!).
Alhamdulillah untuk setiap nikmat yang saya rasakan ini. Perlahan, Allah
melembutkan hati yang sangat keras. Perlahan, Allah menunjukkan banyak sisi baik
yang selama ini saya buta terhadapnya.
Kalau
Saya tidak mentoring, tentu akan berbeda cerita. Mungkin saat ini saya akan
menjadi orang yang tidak berguna atau mungkin jadi seorang penentang yang
sangat keras dan kejam. Na’udzubillah dan tidak usah dibayangkan lah ya. Tidak melebih-lebihkan
tapi inilah pengalaman Saya. Percaya atau tidak, terserah pada pembaca
sekalian, karena Saya tidak akan memaksa.
Namun,
jika ingin membuktikan sendiri tentu sangat Saya anjurkan. Saya ingin berbagi
kenikmatan dengan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita pahami bahkan
tidak terjamah sama sekali. Dikelilingi teman-teman yang sangat peduli bahkan
di atas dirinya sendiri. Maasyaa Allah, Alhamdulillah. Semua berawal dari
mentoring. Memang, mentoring bukan segalanya tapi segalanya berawal dari
mentoring. Tidak percaya ? Gapapa. Buktikan Saja. 😊
Salam,
Komentar
Posting Komentar